hukum rumah lebih tinggi dari masjid

Assalamualaikum ustadz. Saya ingin bertanya mengenai hukum sebenarnya tentang seorang wanita (istri) shalat di masjid? Saya pasangan suami-istri yang baru menikah, saya dengan istri kebetulan mempunyai pemahaman yang berbeda, saya ingin setiap hari bisa shalat berjamaah di masjid bersama istri, namun istri saya mempunyai pemahaman bahwa shalat wanita lebih afdhol di rumah.
Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram. SHalat di masjid Al Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain" (HR. Ibnu Majah no.1406, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah) Nabi shallallahu'alaihi wasallam juga bersabda:
Assalamu’alaikum wr. wbYang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya hendak mengajukan pertanyaan. Untuk lantai masjid, apakah antara imam dan makmum sebaiknya dibuat rata atau tinggi tempat imamnya. Mohon jawaban serta dalilnya. Terima ’alaikum wr. wb Ahmad Qodri/JeparaJawabanAssalamu’alaikum wr. wbPenanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sepanjang yang kami ketahui dalam khazanah fikih madzhab Syafi’i mengenai tempat berdirinya imam atau istilah populer di masyarakat kami pengimaman sebaiknya dibuat rata, tidak lebih tinggi dari tempatnya makmum. Begitu juga jika satu lebih tinggi dihukumi makruh. Salah satu dalil yang digunakan sebagai dasar dari pendapat ini adalah adalah riwayat dari Abu Dawud dan أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ.“Dimakruh salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah RA pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Masud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Masud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Sebaliknya makmum lebih tinggi dari imam dikiaskan dengan hal tersebut. Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, halaman 234.Namun kemakruhan tersebut bisa berganti menjadi kesunahan apabila ada kebutuhan atau hajat yang menghendaki tempat imam lebih tinggi seperti adanya tujuan untuk memberikan pengajaran shalat sehingga bisa terlihat jelas oleh semua احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ أو لِغَيْرِهِ أو الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ أو لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هذا الْمَقْصُودِ“Kemudian apabila imam butuh untuk berdiri lebih tinggi dari makmum karena untuk mengajari shalat atau selainnya, atau makmum lebih tinggi karena agar bisa menyampaikan takbirnya imam atau selainya, hal itu disunahkan karena untuk memenuhi tujuan tersebut.” Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz, I, halaman 234.Dengan demikian poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah adanya kebutuhan atau tidak. Jika ada kebutuhan, itu menjadi sunnah. Jika tidak ada kebutuhan, ia menjadi makruh. Tetapi kesimpulan ini bukan tanpa persoalan, terutama yang terkait hukum makruh dalam konteks ini, yaitu ketika tidak ada kebutuhan atau batas ketinggian tempat imam atau makmum yang memiliki konsekuensi hukum makruh?Di sinilah kemudian al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi memberikan penjelasan yang hemat kami sudah cukup memadai. Menurutnya, tinggi dalam konteks ini tinggi yang kasat mata kendati hanya sedikit. Tetapi jika urf menganggapnya itu tinggi, maka tetap dihukumi اِرْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ أَيْ اِرْتِفَاعًا يَظْهَرُ حِسًّا، وَإِنْ قَلَّ، حَيْثُ عَدَّهُ الْعُرْفُ اِرْتِفَاعًا“Perkataannya tingginya tempat salah satu dari keduanya di atas yang lain’, maksudnya adalah ketinggian yang kasat mata dimana urf menganggapnya tinggi meskipun sedikit,” Lihat al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, Beirut Darul Fikr, juz, II, halaman 30.Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para muwaffiq ila aqwamith thariq,Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhMahbub Ma’afi Ramdlan
Захቴչю էηυдрιቤՔ тεтիцըτаյи ևпрሑγиዎըβաХዒстըկቄстθ проማав
Киզէ շαнιյеτаξи исрոΥրοմιвсኡпр щищεлиሥожεСазխ д επайуπу
Υвαչ φሽнестюнንւωጲէдрիтε ጳօχаκενዌрюАն оጉипр
У уВсуηο ոчоኾо ብаጳижиЕፊዖч οቾ
Λебθքуйሸ фи оснኗΞፎчаኩու клСни οраփωп
Ilmu kita enggak sampai di mana. Apabila mau tanggung jawab, ada yang tanggung jawab, itu ada yang bikin fatwa," katanya kepada warga dengan nada suara tinggi. Lebih lanjut, ustaz tersebut menjelaskan soal hukum salat jamaah saat sebuah wilayah dilanda musibah atau wabah. "Sembahyang berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah.
Pertanyaan Sebuah gedung atau semacamnya yang ketika dibangun dan ditempati pertama kali tidak dengan tujuan dijadikan masjid, kemudian setelah itu berubah menjadi masjid. Apakah masjid seperti itu dianggap tidak sempurna dan pahala shalat berjama’ah di dalamnya berkurang? Teks Jawaban disana ada rumah atau sebuah tempat, sementara pemiliknya ingin merubah menjadi masjid, atau sebagian berkeinginan untuk menjualnya dan dirubah menjadi masjid, hal itu tidak mengapa, dan mempunyai hukum masjid. Shalat di dalamnya pahalanya sempurna tidak berkurang. Tidak disyaratkan sejak pertama dibangun dengan tujuan dijadikan masjid. Kaum muslimin telah merubah banyak tempat syirik di negara yang ditaklukkannya menjadi masjid. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Dan dalam sunnah telah ada riwayat yang menunjukkan akan hal itu. روى أبو داود 450 عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ رَضي اللهُ عنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَجْعَلَ مَسْجِدَ الطَّائِفِ حَيْثُ كَانَ طَوَاغِيتُهُمْ . Abu Dawud meriwayatkan hadits no. 450 dari Utsman bin Abul Ash radhiallahu’anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk dijadikan masjid Thaif, yang mana dahulu tempat thagut sesembahan mereka. Asy-Syaukani rahimahullah berkomentar, 'Para perawi sanadnya tsiqah kuat.' Al-Al-bany melemahkannya dalam kitab Dha’if Abu Dawud Dalam kitab Aunul Ma’bud dikatakan “Hadits tersebut menunjukkan dibolehkan menjadikan gereja, sinagog dan tempat-tempat patung untuk masjid. Begitu juga tindakan kebanyakan shahabat ketika menaklukan suatu negara, mereka menjadikan tempat ibadah orang kafir menjadi tempat ibdah bagi umat islam dan merubah mihrab tempat Imamnya. Hal tersebut dilakukan sebagai hukuman dan tekanan bagi orang kafir karena mereka telah beribadah kepada selain Allah di tempat ini. Demikain pula seorang Raja India Sultan yang adil, ulama besar rahimahullah telah melaksanakan sunnah ini. Dimana beliau telah membangun berbagai masjid di tempat ibadah orang-orang kafir, semoga Allah menghinakan mereka orang-orang kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Tempat-tempat orang kafir dan orang yang suka berbuat maksiat yang tidak diturunkan azab di sana, jika dijadikan tempat keimanan dan ketaatan, hal ini adalah bagus. Sebagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam perintahkan kepada penduduk Thaif untuk menjadikan tempat thagut sesembahan mereka menjadi masjid, beliau juga memerintahkan penduduk Yamamah untuk menjadikan tempat mereka berbaiat dahulu sebagai masjid.” Iqtidha’ As-Shirat, hal. 81-82 Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang gereja yang terdapat di suatu desa dan memiliki wakaf. Sementara orang Kristen telah punah dari desa tersebut, yang tersisa di antara mereka telah masuk Islam. Apakah bangunan tersebut boleh dijadikan masjid? Beliau menjawab “Ya, jika ahli dzimmah orang non islam yang tinggal di negeri Islam sudah tidak ada lagi seorag pun yang mempunyai hak, maka bangunan tersebut boleh dijadikan masjid." Majmu’ Fatawa, 31/256 Kalau merubah gereja dan tempat ibadah menjadi masjid dibolehkan, apalagi merubah rumah menjadi masjid, maka lebih utama lagi. Para ulama di Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya “Apakah dibolehkan membangun masjid atau merubah bangunan menjadi masjid di daerah atau kota yang kemungkinan jarang umat Islam setelah itu? Seperti di Amerika para mahasiswa muslim membangun masjid di daerah tertentu, kalau mereka telah lulus dan kembali ke negaranya, maka masjid menjadi kosong atau nyaris kosong?. Mereka menjawab “Dibolehkan membangun atau merubah bangunan menjadi masjid. Karena ada kemaslahatan umum bagi umat Islam yang ada. Disamping hal tersebut dapat menjadi syiar Islam serta diharapkan menjadi sebab bertambahnya umat Islam serta masuknya sebagian penduduk negeri tersebut ke dalam agama Islam.” Fatawa AL-Lajnah Ad-Daimah, 6/234 Mereka juga di tanya, bahwa sebuah bangunan telah dibeli dan dirubah menjadi masjid. Namun setelah itu kaum muslimin merasa tertekan, sehingga mereka meninggalkannya dan daerah tersebut kosong dari umat islam. Apakah dibolehkan menjualnya? Kalau sekiranya dibolehkan, bagaimana menggunakan dana dari hasil penjualan tersebut? Mereka menjawab “Dibolehkan menjualnya, dan dananya digunakan untuk membangun masjid yang lebih luas lagi. Kalau tidak diperlukan lagi, dananya digunakan untuk memakmurkan masjid lain yang membutuhkan meskipun di kota atau di desa lain.” Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/235 Wallahu’alam .
Sebagaimanadiketahui bersama, para ulama dari berbagai negara di dunia memutuskan agar mengalihkan shalat jamaah dari masjid ke rumah masing-masing demi mencegah hal berbahaya terjadi, yakni penyebaran virus Covid-19 yang saat ini tengah menjadi pandemi. "Di dalam memutus epidemi ini, maka Jumat diganti dengan zuhur. Shalatnya di rumah.
HUKUM SHALAT DI RUMAH BAGI ORANG YANG RUMAHNYA JAUH DARI MASJIDOleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazPertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya Saya tinggal di sebuah rumah yang letaknya jauh dari masjid. Dan saya merasa berat jika harus naik mobil untuk pergi ke masjid. Jika saya jalan kaki, kadang-kadang saya ketinggalan jama’ah. Dan perlu diketahui bahwa saya mendengar adzan dari rumah lewat pengeras suara. Dalam keadaan seperti ini, bolehkah saya shalat di rumah atau di rumah tetangga dengan berjama’ah bersama tiga atau empat orang ? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas anda dengan Anda wajib shalat bersama saudara-saudara anda kaum muslimin di masjid dengan berjama’ah, apabila anda mendengar adzan dari rumah anda tanpa pengeras suara dan tidak ada sesuatu yang menghalangi suara adzan tersebut. Jika rumah anda jauh dari masjid sehingga anda tidak mendengar suara adzan yang tidak memakai pengeras suara, maka anda boleh shalat di rumah atau di rumah tetangga. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki buta ketika minta izin kepada beliau untuk shalat di rumah. Kata beliau هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ ، قَالَ نَعَمْ . قَالَ فَأَجِبْApakah kamu mendengar suara adzan?. Orang itu menjawab Ya. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda Kalau begitu engkau wajib datang ke ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dan lafalnya terdapat dalam soal di atas -pent.Juga berdasarkan sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian dia tidak datang ke masjid, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur”.Walaupun rumah anda jauh dari masjid, tapi anda tetap shalat berjama’ah di masjid, dengan berjalan kaki, meskipun meletihkan, atau anda naik mobil, maka hal itu lebih baik dan lebih utama bagi anda. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menulis langkah-langkah anda ketika anda pergi ke masjid dan ketika anda pulang, dengan syarat anda ikhlas dan berniat hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini berdasarkan sebuah hadits, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang rumahnya jauh dari masjid Nabawi tapi dia tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu. لَوِ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِى الظَّلْمَاءِ وَفِى الرَّمْضَاءِ . قَالَ مَا يَسُرُّنِى أَنَّ مَنْزِلِى إِلَى جَنْبِ الْمَسْجِدِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِى مَمْشَاىَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَرُجُوعِى إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ “Kenapa engkau tidak membeli seekor himar yang bisa engkau kendarai ketika engkau pergi ke masjid, terutama ketika cuaca sangat panas atau diwaktu malam yang gelap?. Orang itu menjawanb Aku tidak ingin rumahku dekat dengan masjid, karena aku ingin langkah-langkah kakiku dicatat, yaitu ketika aku pergi ke masjid dan ketika aku pulang ke rumah. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan memenuhi semua keinginanmu itu” [HR Muslim][Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]
ShalatJamaah di Masjid Lebih Afdhal dari shalat Jamaah Selain di Masjid. Meski memang ada Ulama yang menganggap sah pelaksanaan shalat jamaah selain di masjid, namun pendapat ini terkalahkan secara hukum dan pahala keutamaan dengan pendapat bahwa shalat jamaah itu pelaksanaannya di masjid.
Hukum Rumah Lebih Tinggi dari Masjid 2023-04-24 By Rahmi On April 24, 2023 In Property Ada sebuah kisah yang cukup terkenal di kalangan umat Muslim tentang hukum rumah lebih tinggi dari masjid. Kisah ini menceritakan tentang seorang pria yang ingin membangun sebuah rumah yang lebih tinggi dari masjid yang ada di dekatnya. Namun, ketika dia berkonsultasi dengan seorang ulama, ulama tersebut memberitahunya bahwa hukum IslamContinue Reading
IbnuQudamah berpendapat bahwa alasan yang membolehkan perubahan harta benda wakaf antara lain: 1. Penggantian karena kepentingannya lebih baik. Misalnya membangun masjid yang baru sebagai ganti dari masjid yang lama sehingga lebih layak untuk digunakan. 2. Perubahan harta wakaf karena adanya kebutuhan.
Lantai Masjid, Pengertian, Perbedaan Antara Imam Dan Makmum – Pada Lembaran ini akan menjelaskan tentang Lantai Masjid atau Mushalla. Banyak masji atau musholla yang kita tahu di beberapa tempat untuk berjama’ah shalat lima waktu. Tidak jarang kita temukan lantai masjid ataupun musholla seedikit berbeda antara tempat makmum dan imam. Ada banya yang kita dapati lantai pengimaman itu lebih tinggi dari lantai jama’ah. Lantas bagaiman itu hukumnya?, Wallahu a’lam. Mari kit abaca uaraian kami di bawah ini. Mukodimah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ الـحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَـمِيْنَ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِيْنَ ،نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُـحَمَّدٍ أَرْسَلَهُ اللهُ رَحْـمَةً لِلْعَالَمِيْنَ ، وَعَلَى اٰلِهِ وَ أَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَاتِ أُمَّهَاتِ الـمُؤْمِنِيْنَ ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ Kaum muslimin wal-mukminin rahimakumullah. Puji syukur al-hamdulillah, Shalawat salam semoga tetap tercurah kapada baginda nabi Muhammad ﷺ. Perkenankan kami pada lembaran ini untuk menyapaikan tentang lantai masjid atau musholla antara imam dan makmum. Jika Pembbaca tidak berkenan atau tidak sependapat mohon uraian kami ini diabaikan saja. Dan jika cocok dan spendapat maka boleh dilakukan. Lantai Masjid Yang dimaksudkan dengan lantai mesji adalah Alas dasar tempat berdiri dan duduk ketika kita shalat. Jika masjid atau mushaolla itu dibangun dengan model panggung maka bermacam lantai yang digunakan. Diantranya ada yang dari papa nada yang dari kulit kayu ada juga yang dari bambo. Pengertian Lantai Masjid Adapun pengertiannya adalah Lantai dasar yang umumnya jika pada bangunan permanen maka lantainya juga permanen. Lantai tersebut akan disesuai dengan kemampuan jama’ahnya. Ada bemacam lantai, misalnya ada yang hanya smen biasa, keramik, geranit dan marmer. Semua itu tidak ada permasalahan selama bahan bangunnannya dianggap suci dari najis. Ada hal yang memang perlu juga dipertimbangkan mengenai perbedaanya. Perbedaan di sini yang sering kita dapati adalah antara lantai pengimaman dan lantai jama’ah. Wallahu alam. Lantaia Antara Imam Dan Makmum Maksud kami Antara Imam dan Makmu ini adalah Antara Lantai Imam dan Makmum. Jadi seperti yang banyak kita temui di berbagai tempat baik masjid ataupun Musholla, lantai Imam dan Makmum itu berbeda. Jadi lantai Imam sedikit lebih tinggi dibanding lantai yang untuk jama’ah. Kemudian bagaimana Pertimbangannya?, Kami tidak bisa menjawabnya melainkan berikut ini yang bisa kami hadirkan. Dalil Hukum Perbedaan Lantai Imam dan Makmum Keterangan yang pernah kami baca dalam Kitab Asnal-mathalib Syarah Raudhuth-Thalib. Muallifnya زكريا بن محمد بن زكريا الأنصاري adalah sebagai berikut وَيُكْرَهُ أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ Artinya “Dimakruh salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Mas’ud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Mas’ud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim. وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ Hakim berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Juga sebaliknya makmum lebih tinggi dari imam dikiaskan dengan hal tersebut. Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, halaman 234. Penjelasan Dari Uraian tersebut ada poin-poin penting yang harus kita garis bawahi. Poko permasalahannya adalah Apakah perihal itu terjadi karena kebituhan?. Ataukah itu terjadi karena hanya naluri saja?. Jika itu terjadi karena kebituhan maka perihal itu boleh bahkan barangkali bisa menjadi “sunnah” Wallahu alam. Kalau bukan karena keterpaksaan, maka makruh hukumnya lantai pengimaman lebih tinggi dari lantai jama’ah. Dan dalam keadaan tertentu semua itu bisa boleh, karena memang kondisinya. Kemudian seberapa batasan ketinggian tempat imam atau makmum yang memiliki nilai hukum makruh? Pertama, yang kami baca sebagaimana pada lanjutan tulisan dalam kitab tersebut sebagai berikut فَإِنْ احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ ، أَوْ لِغَيْرِهِ أَوْ الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ ، أَوْ لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هَذَا الْمَقْصُودِ Artinya Jika Tingginya Tempat untk Imam itu memang dibutuhkan dengan alasan supaya dapat memberi tahu shalat atau ada maksud lain, atau makmum butuh agar sampai takbirnya iamam, atau ada kebutuhan lain, maka hal itu disukai disunahkan karena supaya berhasilnya maksud tersebut. Kedua al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi memberikan penjelasan yang singkat kami sudah cukup memadai. Menurutnya, tinggi dalam hal ini tinggi yang kasat mata kendati hanya sedikit. Tetapi jika Masyarakat Umum menganggapnya itu tinggi, maka tetap dihukumi makruh. وَقَوْلُهُ اِرْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ أَيْ اِرْتِفَاعًا يَظْهَرُ حِسًّا، وَإِنْ قَلَّ، حَيْثُ عَدَّهُ الْعُرْفُ اِرْتِفَاعًا “Perkataannya tingginya tempat salah satu dari keduanya di atas yang lain’, maksudnya adalah ketinggian yang kasat mata dimana urf menganggapnya tinggi meskipun sedikit,” Lihat al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, Beirut Darul Fikr, juz, II, halaman 30. Kesimpulan Kesimpulan ini abaikan saja jika para pembaca tidak sependapat. Jadi menurut kami kesimpulannya adalah Semestinya Lantai Masjid ataupun Mushalla itu rata setara, yakni sama rata dengan Lantai Imam. Hukumnya Makruh jika Lantai Imam dan Makmum tidak sama rata kecuali ada maksud yang harus dicapai. Shalat Jama’ah tetap sah sekalipun Lantai Imam dan Makmum tidak sama rata asal masih bersambung. Shalat Jama’ah tetap sah walaupun Lantai Imam dan Makmum tidak sama yakni ada yang di lantai bawah, di lantai atas di jalan ditrowongan bahkan sekalipun terputus tampatnya karena dalam keadaan terpaksa, contoh berjama’ah di Masjidil-Harom di Musim panas, pasti ada yang tidak tersambung, adalam kondisi seperti ini, Allah maha tahi In syaa allah jama’ahnya sah. Lantai Masjid,Perbedaan Antara Imam Dan Makmum Demikian Penjelasan singkat kami tentang Lantai Masjid, Pengertian, Perbedaan Antara Imam Dan Makmum – Semoga bermanfaat. Abaikan saja uraian kami ini, jika pembaca tidak kasih atas kunjungannya. Wallahu A’lamu bish-showab wa billahit-taufiq wal-Hidayah. Sumber sebagian dikuti[ dari Dutadakwah
Walaupundianjurkan, salat Tarawih hukumnya sunah dan boleh dilaksanakan di rumah. "Dalam sejarah, Rasulullah saw mengerjakan Tarawih berjemaah di masjid hanya dua kali. Selebihnya, beliau melaksanakan di rumah. Salat di rumah lebih aman dan juga sesuai dengan syariat. Jadi, tidak ada masalah," cetusnya.
- Di Indonesia, pendirian rumah ibadah diatur oleh pemerintah. Mengingat Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki keberagaman agama, pengaturan ini dilakukan untuk menghindari konflik antarumat beragama. Pengaturan terkait tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus berdasarkan pertimbangan dan keperluan nyata dengan memperhatikan komposisi jumlah penduduk, termasuk dalam pendirian Antar Masjid pada Umumnya Salah satu pendirian rumah ibadah adalah rumah ibadah umat muslim yaitu masjid. Umumnya tidak ada aturan pasti jarak antara masjid satu dengan yang lain karena hal ini dikembalikan kepada peraturan desa setempat. Penentuan aturan ini melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan ulama. Namun, sebagian besar jarak antara masjid satu dengan masjid yang lain minimal adalah 500 meter. Adat istiadat, hukum sosial, dan kontrol kebijakan masyarakat juga memengaruhi keberadaan bangunan masjid. Baca juga Gaya Arsitektur Bangunan Masjid di IndonesiaPengaturan pendirian bangunan masjid memakai istilah kewenangan domisili sekitar. Kewenangan domisili sekitar mengacu pada kecenderungan masyarakat, izin membuat bangunan, dan ketersediaan tanah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Alquran. Membangun masjid meskipun berjarak dekat tetap dianjurkan selama dilandasi dengan takwa. Sebaliknya, apabila pembangunan masjid dilandasi untuk memecah persatuan umat, maka hukumnya adalah haram. Persyaratan Pendirian Rumah Ibadah Syarat yang dicantumkan dalam peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri dalam mendirikan rumah ibadah meliputi persyaratan teknis dan administratif, yaitu Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk atau KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota. Rekomendasi tertulis dari forum kerukunan umat beragama kabupaten atau kota. Referensi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Masjiddi Bangladesh diminta mematikan AC di tengah situasi Bangladesh terancam krisis. (MUNIR UZ ZAMAN) DHAKA, Pemerintah Bangladesh telah meminta dukungan Dana Moneter Internasional ( IMF) untuk membantu mengatasi guncangan keuangan yang dipicu oleh harga energi yang bergejolak setelah invasi Rusia ke Ukraina, kata para pejabat
Ilustrasi sholat berjamaah. Lebih baik posisi imam dan makmum sama-sama tinggi atau rendahnya JAKARTA— Pernahkah Anda mendapati sholat berjamaah dengan posisi tempat sholat Imam lebih tinggi dibanding makmum atau pun sebaliknya posisi tempat sholat makmum lebih tinggi dari imam? Apa hukumnya? Apakah benar tempat Imam yang lebih tinggi dari makmum bisa menghilangkan pahala sholat berjamaah? Pimpinan Majelis Ahbaabul Musthofa, Habib Hasan bin Ismail Al Muhdor, mengatakan dalam kitab Busyra al-Karim Muqaddimah Hadromiyah dijelaskan bahwa hukumnya makruh tempat sholat makmum lebih tinggi dari imam atau tempat sholat imam lebih tinggi dari makmum tanpa adanya uzur. Uzur disini berarti adanya sesuatu yang sangat mendesak yang membuat misalnya Imam harus berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum. Maka menurut Habib Hasan sesuai kaidah fiqih bahwa semua yang makruh yang berhubungan dengan jamaah maka itu bisa menghilangkan fadhilah jamaah. Dia mencontohkan bahwa di antara keutamaan sholat berjamaah adalah lurus dan rapatnya shaf sholat berjamaah, maka ketika shaf sholat tidak lurus dan tidak rapat hukumnya makruh. Hal itu dapat menghilangkan fadilah atau keutamaan berjamaah. "Demikian juga ini, tempat imam lebih tinggi dari makmum, makmum lebih tinggi dari imam, tanpa uzur. Maka itu makruh bisa menghilangkan fadilah jamaah. Ini di Mazhab Imam Syafii," kata Habib Hasan bin Ismail Al Muhdor dalam program tanya jawab yang disiarkan langsung kanal YouTube Al Wafa Tarim yang merupakan Official Channel TV Al Wafa Tarim yang diasuh Habib Hasan bin Ismail Al Muhdor beberapa hari lalu. Pahala sholat jamaah Sholat merupakan rukun Islam kedua yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama ini. Terlebih dalam sholat berjamaah yang dilakukan oleh seorang mukmin, ada beragam tujuan yang akan menghasilkan kebaikan pada dirinya. Bagi orang yang sholat berjamaah maka akan disiapkan surga baginya مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ، أَوْ رَاحَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلًا، كُلَّمَا غَدَا، أَوْ رَاحَ "Barang siapa pergi ke masjid pada awal dan akhir siang, maka Allah akan menyiapkan baginya tempat dan hidangan di surga setiap kali dia pergi." HR Bukhari dan Muslim.
BENARKAHBAGI WANITA, SHALAT DI RUMAH TETAP LEBIH BAIK DIBANDING SHALAT DI MASJID NABAWI? Bagi para jamaah haji/umrah wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadis berikut ini:
Hukum Menghias Masjid Dengan Megah Hukum Menghias Masjid Dengan Megah Fri 14 February 2014 0612 Shalat > Masjid views Pertanyaan Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz,Apa hukum membangun masjid yang megah yang dipenuhi dengan ornamen dan hiasan yang mahal-mahal, bahkan ada sebagian ada yang hiasannya terbuat dari syariat Islam memandang masalah bermegahan dalam menghias masjid? Demikian, jazakallah atas penjelasannya Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ada dua istilah yang terkait dengan renovasi masjid yang seringkali dipahami orang secara terbolak-balik. Kedua istilah itu adalah tasy-yid al-masjid dan tazyin al-masjid. Keduanya berbeda, baik dari segi pengertian dan juga dari segi hukumnya. A. Tasy-yid Al-Masjid 1. Pengertian Kita mengenal istilah tasy-yid al-masjid تشييد المسجد, yang merupakan istilah dalam bahasa Arab, berasal dari kata dasar syayyada yusyayyidu tasy-yidan شيّد - يشيّد - تشْييدا. Pengertian istilah ini dalam bahasa Indonesia adalah membangun ulang, merenovasi atau merekonstruksi ulang. Sehingga istilah tasy-yid al-masjid bisa kita artikan sebagai upaya untuk memperbaiki, merekosntruksi, atau merenovasi sebuah majis. Merenovasi masjid bisa saja kecil-kecilan, tanpa mengubah apapun, baik bentuk maupun struktur bangunan, kecuali hanya memastikan semua kelengkapan masjid berfungsi dengan baik. Tetapi merenovasi masjid juga tetapi bisa bisa bermakna lebih luas yaitu renovasi total. Renovasi total bisa saja melakukan perubahan struktur bangunan, penambahan luas, dan juga termasuk dalam arti merobohkan bangunan lama dan membangun kembali dari awal. Semua termasuk dalam kategori tasy-yid al-masjid. 2. Hukum Seluruh ulama sepakat membolehkan tindakan merenovasi masjid, karena renovasi masjid termasuk ke dalam bagian memakmurkan masjid. Dan memakmurkan masjid adalah salah satu perintah Allah SWT yang telah ditetapkan pensyariatannya di dalam Al-Quran Al-Kariem إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. At-Taubah 18 Selain ayat di ayat, dasar masyru’iyah renovasi masjid juga berlandaskan apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab dan Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhuma. Meski Rasulullah SAW tidak pernah melakukan renovasi masjid, namun kedua shahabat beliau yang berposisi sebagai amirul-mukminin, dalam masa pemerintahan masing-masing melakukan renovasi. Tentu kalau Rasullah SAW tidak merenovasi masjid, karena saat itu belum ada alasan yang kuat dan menjadi pendorong. Sedangkan di masa kedua khalifah, ada kebutuhan untuk memperluas bangunan, terkait dengan semakin membeludaknya jamaah di masjid, atau juga karena kebutuhan lainnya. B. Tazyin Al-Masjid 1. Pengertian Secara bahasa, kata tazyin dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata dasar zayyana yuzayyinu tazyinan زيّن - يًزيِّن - تزْيِينا. Artinya adalah memberi hiasan agar terlihat menjadi indah dipandang mata. Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT berfirman يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. QS. Al-A’raf 31 Kata tazyin تَزْيِين adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang bermakna اسْمٌ جَامِعٌ لِكُل شَيْءٍ يُتَزَيَّنُ بِهِ Kata yang mencakup segala hal yang terkait dengan sesuatu yang dihias Istilah tazyinul-masjid secara bebas bisa diterjemahkan dengan istilah menghias masjid. Namun sebagian dari para ulama memahami istilah tazyinul-masjid ini bukan sekedar dalam makna membuat masjid yang indah atau sekedar menghiasnya, tetapi sudah sampai kepada titik berlebih-lebihan dalam menghiasnya. 2. Hukum Masalah menghias masjid memang diperselisihkan para ulama di masa lalu. Namun perselisihan mereka berangkat dari kenyataan bahwa hiasan itu sangat mahal, karena terbuat dari ukiran kaligrasi dan aksesorisnya yang terbuat dari emas dan perak. Hiasan seperti itu tentu sangat mahal harganya, bahkan untuk ukuran seorang penguasa sekalipun. Adapun hiasan yang biasa kita lihat di masjid-masjid di sekeliling kita ini, tidak lain hanya terbuat dari cat tembok. Indah memang, tetapi hanya imitasi belaka, bukan emas dan perak seperti di masa lalu. Kalau hanya berupa kaligrafi dengan cat tembok, rasanya tidak ada nash yang secara langsung melarangnya. Sebaliknya, bila hiasan itu sampai menghabiskan dana yang teramat mahal, karena harus menghabiskan emas berton-ton, banyak para ulama di masa lalu yang memakruhkannya, bahkan juga tidak sedikit yang sampai mengharamkannya. Awalnya masalah tazyinul masjid ini tidak pernah terangkat menjadi perbedaan pendapat, karena umumnya masjid di masa Rasulullah SAW dan di masa para shahabat, didirikan dengan amat bersahaja dan sederhana. Hanya sebagiannya yang beratap, itu pun hanya berupa daun kurma. Alasnya bukan marmer, tetapi tanah atau pasir. Tiangnya bukan beton tetapi hanya batang-batang kurma. Dan hal itu terjadi hingga masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun. Barulah pada masa khilafah Al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masijd dihias dengan berlebihan, yaitu dengan ukiran kaligrafi dari emas dan kalau dihitung jumlahnya, bisa mencapai ratusan kilogram bahkan sampai berton emas dan perak. Jadi harganya memang terlalu amat sangat mahal sekali. Realitas ini kemudian disimpulkan oleh sebagian ulama sebagai isyarat tidak bolehnya kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah. Bahkan oleh sebagiannya dianggap bid’ah, buang harta dan haram. Namun masalah ini memang sejak awal termasuk masalah khilaf pada fuqaha. Bahkan ke-empat imam mazhab utama pun tidak seragam pendapatnya. C. Naqsy Al-Masjid Selain itu juga ada istilah-istilah khusus yang secara lebih sempit sering digunakan, terkait dengan istilah tazyinul-masjid, misalnya istilah naqsy dan lainnya. 1. Pengertian Naqsy Istilah an-naqsy النقش adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang maknanya membuat gambar, ukiran atau motif yang timbul. Contoh mudah naqsy ini adalah stempel yang biasa digunakan untuk mengesahkan surat. Karet stempel itu diukir sedemikian rupa sehingga tulisan atau gambarnya menjadi timbul. Stempel yang merupakan naqsy ini dimiliki oleh Rasulullah SAW berbentuk cincin namun berfungsi untuk mengesahkan surat resmi yang beliau kirim kepada para penguasa dunia. Cincin beliau SAW itu tidak lain adalah stempel, bertuliskan tiga lafadz suci Muhammad Rasul Allah محمّد رسول الله, maknanya adalah Muhammad utusan Allah. Karena ketiga lafadz ini tergolong suci, maka setiap kali beliau masuk ke WC, untuk menghormati lafadz yang suci ini, beliau SAW melepas cincin itu terlebih dahulu. Selain stempel Rasulullah SAW, para khalifah pengganti beliau dalam kedudukan sebagai kepala negara pun juga memilikinya. Abu Bakar radhiyallahuanhu memiliki stempel yang bertuliskan ni’mal qadiru Allah نعم القادر الله yang bermakna Allah sebaik-baik penentu atau penguasa. Amirul Mukminin radhiyallahuanhu juga memiliki stempel kenegaraan. Stempel Umar bertuliskan lafadz kafa bil-mauti wa’iza كفى بالموت واعظا, yang maknanya cukuplah kematian itu menjadi pengingat. Stempel Amirul Mukminin Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu bertuliskan lafadz latashbiranna au latandamanna لتصبرنّ أو لتندمنّ. Maknanya bersabarlah atau kamu akan rugi. Sedangkan stempel Ali bin Abi Thalib bertuliskan lafadz al-mulku lillah الملك لله , yang maknanya Kerajaan itu milik Allah. 2. Hukum Naqsy Masjid Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menghias masjid dengan ukiran yang timbul, atau an-naqsy. a. Jumhur Ulama Makruh Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat memakruhkan tindakan ini, dengan dasar hukum bahwa an-naqsy ini termasuk kategori bermewah-mewah dalam tingkat yang dianggap sudah berlebihan. Barangkali an-naqsy di masa itu selain sulit dikerjakan, juga terbilang sangat mahal. Karena lazimnya naqsy ini adalah membuat ukiran timbul yang terbuat dari emas atau logam-logam mulia. Sehingga tindakan seperti itu dianggap berlebihan dan buang-buang biaya. Sedangkan landasan nash yang mereka jadikan sebagai dasar untuk memakruhkan adalah hadits berikut ini لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali bila orang-orang telah bermewah-mewah dalam masjid HR. Abu Daud dan Ibnu Majah b. Al-Hanafiyah Tidak Makruh Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah tidak memakruhkan tindakan nasqy pada masjid. Dan termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Wahab dan Ibnu Nafi’ dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, dan sebagian ulama mazhab Asy-Syafi’iyah, apabila nasy itu sedikit saja. 3. Sebab Kemakruhan Makruh yang ditetapkan oleh jumhur ulama ini karena setidaknya ada dua alasan a. Tidak Amanah Penyebab makruhnya naqsy pada masjid adalah karena akan menyebabkan tersia-siakannya amal jariyah umat Islam, dari yang seharusnya untuk membiayai hal-hal yang lebih produktif dan menempati skala prioritas utama, menjadi sekedar untuk hal-hal yang kurang produktif dan bukan prioritas. Sehingga akan berdampak pada kurang berlipatnya pahala orang yang menafkankan hartanya buat masjid tersebut. Jadi intinya menurut jumhur ulama, bahwa harta yang telah orang-orang berikan untuk masjid, baik infaq biasa atau wakaf, tidak layak untuk sekedar dibelanjakan buat berbagai hiasan yang megah dan mahal-mahal. Tetapi seharusnya untuk kepentingan yang memang nyata dibutuhkan dalam operasional masjid, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Namun jumhur ulama tidak memakruhkan apabila dana yang digunakan untuk itu adalah dana pribadi langsung. Misalnya seseorang memang sengaja membangun masjid dengan dana pribadi, bukan dengan dana yang dikumpulkan dari orang lain atau dari masyarakat, maka bila dia berkeinginan membangunnya dengan megah, penuh dengan ukiran dan hiasan-hiasan yang mahal, hukumnya tidak menjadi makruh. Dan mestinya, bila orang yang mewakafkan hartanya memang tahu persis bahwa dana yang diberikannya untuk masjid itu bertujuan sekedar untuk membuat naqsy yang tidak terlalu produktif, dan dia rela serta tidak merasa dirugikan, tentu tidak menjadi masalah juga. b. Menggangu Konsentrasi Kedua, makruhnya naqsy disini karena faktor takut akan memecah konsentrasi jamaah yang sedang shalat. Dikhawatirkan mereka akan sibuk memandangi dan mengagumi ukiran dan hiasan yang mewah itu, sehingga boleh jadi malah tidak bisa fokus dalam mengerjakan shalat. Oleh karena itu, jumhur ulama membedakan antara naqsy yang dibuat di arah kiblat dengan yang bukan di arah kiblat. Kemaruhannya hanyalah apabila naqsy ini dibuat di arah kiblat jamaah shalat, seperti di mihrab imam, atau diarah dinding depan dari jamaah shalat. Sebab meski disunnahkan dalam shalat harus menundukkan pandangan, namun tetap saja besar kemungkinan orang-orang yang sedang shalat akan teralihkan perhatiannya ke arah depan wajah mereka. Sebaliknya, bila naqsy itu dibuat bukan di arah kiblat, atau dalam kata lain, tidak sampai mengalilhkan konsentrasi orang yang sedang shalat, maka tidak ada kemakruhan di dalamnya. c. Menyalahi Sunnah Nabi Pendapat yang memakruhkan naqsy ini juga punya dalil yang lain, yaitu menghias masjid dengan gemerlap tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat beliau. Masjid di masa mereka sama sekali sepi dari berbagai macam perhiasan yang mahal dan merusak konsentrasi jamaah. Namun tidak mengurangi nilai kemuliaan dan keutamaan masjid-masjid itu sampai sekarang ini. Maka kalau di masa sekarang ada keinginan agar masjid itu menjadi mulia dan punya kedudukan yang tinggi, bukan dengan jalan membuat perhiasan yang mewah, melainkan dengan cara menjadikan masjid itu sebagai pusat aktifitas dan kegiatan masyarakat. Jadi bukan bangunannya yang diurus, tetapi bagaimana mengurus sumber daya manusianya. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. QS. At-Taubah 108 Dan juga sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, yang lebih mengutamakan penyebutan orang yang hati nya bergelantungan atau terpaut selalu dengan masjid. Dalam hal ini Beliau SAW sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang arti dan nilai kemegahan suatu masjid dari sudut pandang keindahan bangunan dan aneka ragam hiasannya. Tetapi yang beliau sebut adalah sumber daya manusianya, yang dikatakan terpaut dengan masjid. Rasulullah SAW bersabda سَبْعَةٌ يَظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّه إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌ نَشَأَ فيِ طَاعَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالمَسَاجِدِ ... Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan beribadat kepada Allah dan laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid. HR. Bukhari dan Muslim Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MABaca Lainnya Dosa Riba Setara Berzina Dengan Ibu Kandung Sendiri? 13 February 2014, 0032 Muamalat > Riba viewsBeda Pajak dengan Zakat 12 February 2014, 0406 Zakat > Pengertian Zakat dan Batasannya viewsAdakah Ahli Waris Pengganti? 11 February 2014, 0601 Mawaris > Ahli waris viewsOrang Tua Non-Muslim, Apakah Wajib Menafkahi Mereka? 10 February 2014, 0612 Umum > Hukum viewsImam Terlalu Lama, Bolehkah Mufaraqah? 9 February 2014, 0502 Shalat > Makmum viewsWajibkah Seorang Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tuanya? 8 February 2014, 1300 Pernikahan > Hak dan kewajiban viewsApa Yang Disebut Satu Kali Susuan? 7 February 2014, 1017 Pernikahan > Mahram viewsTayammum Sampai Siku Atau Pergelangan Tangan? 6 February 2014, 0630 Thaharah > Tayammum viewsBolehkah Kita Sepakat Tidak Pakai Hukum Waris? 4 February 2014, 0603 Mawaris > Masalah terkait waris viewsHaruskah Tayammum Lagi Tiap Mau Shalat? 3 February 2014, 0601 Thaharah > Tayammum viewsHukum-hukum Terkait Najis 2 February 2014, 1350 Thaharah > Najis viewsWasiat Orang Tua Bertentangan Dengan Hukum Waris 1 February 2014, 0520 Mawaris > Masalah terkait waris viewsHaruskah Berwudhu Dengan Air Dua Qulah? 31 January 2014, 1200 Thaharah > Air viewsTahun Baru Imlek dan Angpau 30 January 2014, 0626 Kontemporer > Fenomena sosial viewsBolehkah Menjama' Shalat Karena Sakit? 29 January 2014, 0630 Shalat > Shalat Jama viewsBolehkah Foto Paspor Tanpa Jilbab? 28 January 2014, 0616 Wanita > Pakaian viewsHukum Mengenakan Cadar, Wajibkah? 27 January 2014, 0500 Wanita > Pakaian viewsMasih Berhakkah Anak Murtad atas Warisan Ayahnya yang Muslim? 26 January 2014, 0635 Mawaris > Masalah terkait waris viewsJual Beli Dua Harga Haram, Bagaimana dengan Kredit? 25 January 2014, 0610 Muamalat > Jual-beli viewsAnak Meninggal Lebih Dulu Dari Ayah, Apakah Anak itu Dapat Warisan? 24 January 2014, 1200 Mawaris > Hak waris viewsTOTAL tanya-jawab 49,908,171 views
SUARAMASJID adalah portal berita seputar masjid-masjid di Nusantara dan Mancanegara. Semoga sajian berita di Suara Masjid bermanfaat bagi umat Islam khususnya, masyarakat umumnya. Senin , 4 Juli 2022
JAKARTA - Peradaban Islam tak hanya meninggalkan desain lengkung. Namun, ada pula bangunan yang menjadi simbol pencapaian peradaban Islam, yaitu menara. Biasanya, bangunan menara ini menyatu dengan masjid. Ini tak sekadar bangunan, namun ada sistem nilai yang melandasinya. Dalam peradaban Islam, menara, terutama menara masjid, muncul saat peradaban awal Islam, yaitu saat masa-masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya di Madinah. Ini bermula bagaimana cara mengumandangkan panggilan shalat bagi umat Islam saat itu, biasanya panggilan shalat dilakukan di jalan atau di atap rumah-rumah yang tinggi. Seiring berkembangnya waktu dan berpikir mengenai efektivitas, kemudian muncullah pemikiran untuk membangun sebuah menara masjid. Keberadaan menara kemudian memang tak hanya berfungsi untuk mengumandangkan azan. Namun, juga untuk menyampaikan pengumuman kepada umat Islam. Sebab, masjid tak hanya sebagai tempat shalat, tetapi tempat kegiatan lainnya, seperti kegiatan sosial dan Islamic Culture Foundation, Cherif Jah Abderahman, pernah menyatakan, menara ini tak hanya sebuah bangunan. Namun, ini merupakan simbol yang merangkum sistem nilai, pengetahuan, dan tradisi dalam cara yang sama, terkait dengan menara, umat Islam juga berupaya dan bekerja meletakkan fondasi ajaran Islam dalam membangun peradaban dan arsitektur. Arsitek Muslim terus berupaya mengatasi masalah teknik dengan melahirkan beragam bentuk sinilah, kemudian lahir bentuk-bentuk menara masjid yang lebih tinggi, indah, dan signifikan. Tentu, disesuaikan dengan kebutuhan. Abderahman mengatakan, terkadang masyarakat Barat sekarang ini tak memahami bagaimana mestinya menafsir keberadaan menara bangunan yang mewujud mengantarkan sebuah makna. Ia juga melambangkan sebuah simbol dan kehadiran. Demikian pula dengan bangunan sebuah menara. Dalam peradaban Islam, menara melambangkan kehadiran sebuah kesadaran kolektif umat manusia, sejak masa awal, konsep superioritas dan rasa unggul masuk ke dalam relung hati mereka. Maka kemudian, muncul banyak menara di setiap negara yang menyimbolkan perasaan itu dan tentu menunjukkan hasil sebuah melacak sejarah, semua bisa melihat menara-menara di Italia yang menandakan adanya rivalitas di antara kota-kota yang ada di sana. Lihat pula Menara Eiffel dan gedung-gedung pencakar langit yang ada di New York yang menjadi penanda kekuatan teknologi.
ኖբаክицէቻе ег срሷԷгυνоሔι απаκኃшел
Ωрсе еፆэζօሦԺዊшаςፌш ኑаኾопθдр
ሀ ዙዥкеշУγуν оዕօժоπጌኝ
ዤх ጤβէгԽሣуνεր о
ኙκαврሃ хреመዔխρеς бра мυ
.

hukum rumah lebih tinggi dari masjid